Jumat, 29 Mei 2015

Safinah - bag 26: Hadast & Aurat



الْأَحْدَاثُ اِثْنَانِ : أَصْغَرُ وَ أَكْبَرُ . فَالْأَصْغَرُ مَا أَوْجَبَ الْوُضُوْءَ . وَ الْأَكْبَرُ مَا أَوْجَبَ الْغُسْلَ.

الْعَوْرَاتُ أَرْبَعٌ : عَوْرَةُ الرَّجُلِ مُطْلَقًا وَ الْأَمَةُ فِي الصَّلَاةِ: مَا بَيْنَ السُّرَةِ وَ الرُّكْبَةِ .وَ عَوْرَةُ الْحُرَّةِ فِي الصَّلَاةِ: جَمِيْعُ بَدَنِهَا مَا سِوَى الْوَجْهِ وَ الْكَفَيْنِ. وَ عَوْرَةُ الْحُرَّةِ وَ الْأَمَةِ عِنْدَ الْأَجَانِبِ: جَمِيْعُ الْبَدَنِ. وَ عِنْدَ مَحَارِمِهَا وَ النِّسَاءِ: مَا بَيْنَ السُّرَةِ وَ الرُّكْبَةِ.

Hadast-hadast terbagi menjadi 2, yaitu hadast kecil dan hadast besar. Hadast kecil adalah segala sesuatu yang mewajibkan wudhu. Hadast besar adalah segala sesuatu yang mewajibkan mandi.
Aurat-aurat ada 4, yaitu: 
1.      Auratnya laki-laki secara mutlak dan budak perempuan di dalam shalat adalah sesuatu antara pusar dan lutut. 
2.      Auratnya perempuan merdeka di dalam shalat adalah semua badannya selain wajah dan kedua telapak tangan. 
3.      Auratnya perempuan merdeka dan budak perempuan di sisi orang ajnabiy(orang yang tidak ada hubungan mahram) adalah seluruh badan. 
4.      Di sisi orang-orang mahramnya dan perempuan-perempuan adalah sesuatu antara pusar dan lutut.

Pembahasan

Dalam pembahasan sebelumnya telah dibahas bahwa diantara syarat-syarat shalat adalah suci dari segala hadast dan menutup aurat. Masing-masing dari kedua perkara tersebut memiliki pembahasan tersendiri.

Hadast besar dan hadast kecil

Dalam shalat disyaratkan untuk bersih/suci dari semua hadast. Hadast sendiri terbagi menjadi dua; hadast besar dan hadast kecil. Hadast besar adalah segala hal yang mewajibkan seseorang untuk mandi. Artinya segala hal yang menjadikan seorang wajib mandi maka itu adalah hadast besar. Adapun hal-hal yang mewajibkan mandi telah dibahas dalam pembahasan sebelumnya. Seperti keluarnya mani, haidh, nifas dll. Sehingga seorang yang terkena kewajiban untuk mandi tidak sah untuk melakukan shalat.

Adapun hadast kecil adalah segala sesuatu yang mewajibkan seorang untuk berwudhu. Artinya segala sesuatu yang menyebabkan seseorang untuk berwudhu sebelum mengerjakan shalat dan segala hal yang memerlukan wudhu,seperti hilangnya akal,bersentuhan dua kulit ajnabi dll, maka seorang yang terkena hadast kecil. Sehingga seorang yang demikian tidak diperbolehkan untuk shalat sebelum wudhu terlebih dahulu.

Tambahan

Sebagian ulama berpendapat bahwa hadast terbagi menjadi 3, yaitu: 
1.      Hadast kecil, yaitu segala sesuatu yang menjadikan haram melakukan empat perkara (hal-hal yang membatalkan wudhu). 
2.      Hadast sedang, yaitu segala sesuatu yang menjadikan haram melakukan enam perkara , yaitu junub karena sebab keluarnya mani, memasukan kemaluan dan melahirkan. 
3.      Hadast besar yaitu segala sesuatu yang menjadikan haram mengerjakan sepuluh perkara yaitu haidh dan nifas.

Aurat

Sebagaimana telah diketahui bahwa aurat adalah segala sesuatu yang wajib ditutup dan haram untuk dilihat. Dalam shalat disyaratkan untuk menutup aurat sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya. Setiap dari laki-laki dan perempuan memiliki batasan aurat yang wajib ditutup. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut: 

1.      Aurat laki-laki 

Aurat laki-laki terbagi menjadi 4, yaitu: 
a.       Dalam keadaan sendiri. Maka aurat yang wajib ditutup adalah dua kemaluan; kemaluan belakang dan kemaluan depan. 
b.      Ketika shalat, di hadapan perempuan-perempuan mahram dan sesame laki-laki. Maka aurat yang wajib ditutup dalam semua keadaan itu adalah segala sesuatu yang terletak diantara pusar dan lutut. Dan wajib juga menutup lutut dan pusar meskipun keduanya bukan aurat. Hal ini berdasar kaidah fikih yang berbunyi “Segala sesuatu yang tidak sempurna sesuatu yang wajib kecuali dengan mengerjakan atau menambahi sesuatu tersebut, maka hukumnya mengerjakan atau menambah sesuatu tersebuat adalah wajib.” 
c.       Dihadapan perempuan yang bukan mahram. Maka aurat yang wajib ditutup adalah semua badannya. 
d.      Di hadapan istri atau budak perempuannya. Maka tidak ada aurat yang wajib untuk ditutup. 

2.      Aurat perempuan merdeka

Aurat perempuan merdeka terbagi menjadi 5, yaitu: 
a.      Dalam keadaan sendirian, di hadapan sesama perempuan dan dihadapan laki-laki yang mahram. Maka aurat yang wajib ditutup adalah segala sesuatu antara pusar dan lutut. 
b.      Di hadapan perempuan fasik dan perempuan kafir. Maka aurat yang wajib ditutup adalah segala sesuatu yang tidak tampak ketika bekerja. Adapun anggota tubuh yang terbuka ketika bekerja, yaitu kepala, wajah, leher, kedua tangan sampai lengan atas dan kedua kaki sampai lutut, maka bukan aurat. Selain anggota tubuh tersebut adalah aurat yang wajib ditutup ketika di hadapan perempuan kafir dan perempuan fasik. 
c.       Ketika shalat. Maka aurat yang wajib ditutup adalah semua badan selain kedua telapak tangan dan wajah. 
d.      Di hadapan laki-laki yang bukan mahram. Maka aurat yang wajib ditutup adalah semua badan. 
e.      Di hadapan suaminya. Maka tidak ada aurat yang wajib ditutup. 

3.      Aurat budak perempuan

Aurat budak perempuan terbagi menjadi 5, yaitu: 
a.       Dalam keadaan sendirian. Maka yang wajib ditutup adalah dua kemaluannya; kemaluan depan dan belakang. 
b.      Ketika shalat, di hadapan sesama perempuan dan laki-laki yang mahram baginya. Maka aurat yang wajib ditutup adalah segala sesuatu yang terletak antara pusar dan lutut. 
c.       Di hadapan perempuan kafir dan fasik. Maka aurat yang wajib ditutup adalah segala sesuatu yang tidak tampak ketika bekerja. 
d.      Di hadapan laki-laki yang bukan mahram. Maka aurat yang wajib ditutup adalah semua badannya. 
e.       Di hadapan sayid atau suaminya. Tidak ada aurat yang wajib ditutup.
  
و الله أعلم

Safinah - bag 25: Syarat Shalat



(فَصْلٌ) شُرُوْطُ الصَّلَاةِ ثَمَانِيَةٌ : طَهَارَةُ الْحَدَثَيْنِ وَ الطَّهَارَةُ عَنِ النَّجَاسَةِ فِي الثَّوْبِ وَ الْبَدَنِ  وَ الْمَكَانِ وَ سَتْرُ الْعَوْرَةِ وَ اسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ وَ دُخُوْلُ الْوَقْتِ وَ الْعِلْمُ بِفَرِيْضَتِةِ وَ أَنْ لَايَعْتَقِدَ فَرْضًا مِنْ فُرُوْضِهَا سُنَّةً وَ اجْتِنَابُ الْمُبْطِلَاتِ .
Syarat-syarat (sah) shalat ada 8, yaitu: 
1.      Suci dari dua hadast. 
2.      Suci dari najis pada pakaian, badan dan tempat shalat. 
3.      Menutup aurat. 
4.      Menghadap kiblat. 
5.      Masuk waktu shalat. 
6.      Mengetahui dengan kefardhuan shalat. 
7.      Tidak meyakini salah satu fardhu dari fardhu-fardhu shalat sebagai sunnah. 
8.      Meninggalkan hal-hal yang membatalkan shalat.
                                                                                                                                        
Pembahasan

Shalat adalah ibadah yang sangat penting, bahkan shalat menjadi tiang agama sebagaimana sabda Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam:

الصَّلَاةُ عِمَادُ الدِّيْنِ فَمَنْ أَقَامَهَا فَقَدْ أَقَامَ الدِّيْنَ وَ مَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ هَدَمَ الدِّيْنَ

“Shalat adalah tiang agama. Barangsiapa mengerjakan shalat maka sungguh-sungguh telah menegakkan agama, barang siapa meninggalkan shalat maka sungguh-sungguh telah menghancurkan agama.”

Shalat sendiri memiliki beberapa syarat sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Syarat shalat terbagi menjadi dua; syarat sah shalat dan syarat wajib shalat. Syarat sah shalat artinya adalah jika seorang yang mengerjakan shalat memenuhi syarat-syarat tersebut maka shalat yang telah dikerjakan sah hukumnya.

Adapun syarat sah shalat ada 8, yaitu: 

1.      Suci dari dua hadast

Hadast terbagi menjadi dua, yaitu hadast besar dan kecil. Kedua hadast tersebut memiliki pengertian dan hukum masing-masing dan akan dibahas –insyaallah- dalam pembahasan berikutnya.

Tidak sah seorang yang shalat sedang dirinya berhadast. Jika seorang yang berhadast jika sengaja melaksanakan shalat dan dirinya mengetahui bahwa mengerjakan shalat ketika berhadast maka hukumnya haram tidak sah dan dirinya berdosa.

Adapun orang yang mengerjakan shalat tetapi lupa bahwa dirinya berhadast, maka shalatnya tetap tidak sah dan mendapat pahala karena niatnya untuk mengerjakan shalat. Dan wajib mengulangi shalatnya.
Jika ditengah mengerjakan shalat kemudian berhadast, seperti kentut dll maka shalatnya batal. dalam hadist Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِيْ صَلَاتِهِ فَلْيَنْصَرِفْ وَ لْيَتَوَضَّأْ وَ لْيُعِدْ صَلَاتَهُ

“Jika salah satu kalian keluar angin (kentut) di dalam shalatnya, maka hendaknya dia berpaling dan wudhu kemudian mengulangi shalatnya.”

Orang yang tidak bisa menghilangkan hadast pada dirinya, karena tidak menemukan air untuk berwudhu atau mandi atau tidak menemukan debu untuk bertayammum, maka wajib shalat meski dalam keadaan berhadast. Hal ini wajib dilakukan untuk menghormati waktu shalat dan wajib untuk mengqodho’ shalat jika telah menemukan air atau debu. 

2.      Suci dari najis pada pakaian, badan dan tempat shalat

Yang dimaksud pakaian dalam shalat adalah segala sesuatu yang dipakai, dibawa –meskipun tidak bergerak dengan gerakan dirinya- dan yang menempel pada orang yang shalat. Adapun yang dimaksud dengan badan adalah bagian yang tampak dari orang yang shalat, mencakup bagian dalam hidung, mulut dan mata. Dan yang dimaksud dengan tempat dalam shalat adalah tempat yang bersentuhan langsung dengan pakaian dan badannya.

Dalam shalat pakaian, badan dan tempat shalat disyaratkan harus suci. Sehingga orang yang membawa najis (yang tidak dimaafkan) dalam pakaian, badan atau tempat shalat ketika mengerjakan shalat, maka hukumnya tidak sah.

Tambahan

Najis terbagi menjadi 4, yaitu: 
a.       Najis yang tidak dimaafkan di dalam air dan di pakaian. 
b.      Najis yang dimaafkan di dalam air dan di pakaian, yaitu najis yang tidak terlihat oleh penglihatan mata manusia pada umumnya. Sehingga jika najis tersebut masuk ke dalam air maka air tidak menjadi mutanajjis dan jika terbawa oleh pakaian ketika shalat maka shalat tetap sah. 
c.       Najis yang dimaafkan di pakaian tetapi tidak dimaafkan di dalam air, yaitu darah yang sedikit. Sehingga ketika dalam pakaian shalat terdapat sedikit darah hukumnya tetap sah shalatnya. 
d.      Najis yang dimaafkan di dalam air tetapi tidak dimaafkan di pakaian, yaitu bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir ketika dirobek. Sehingga ketika bangkai tersebut masuk ke dalam air maka tidak membuat air menjadi mutanajjis/ tetap suci. Tetapi jika terbawa ketika shalat maka shalatnya tidak sah.
Ukuran sedikit atau banyaknya darah adalah menurut kebiasaan suatu tempat, jika darah menetes dan sulit untuk menjaga diri darinya (karena sangat sedikit) maka darah tersebut dianggap sedikit, adapun yang lebih dari itu maka hukumnya banyak. Sebagian ulama berpendapat bahwa darah yang banyak adalah darah yang ukurannya bisa terlihat dengan mata tanpa berpikir terlebih dahulu, adapun yang kurang dari ukuran tersebut maka hukumnya sedikit.

Permasalahan 
1.      Tidak sah shalat seseorang yang tangannya memegang tali yang ujungnya bersambung dengan najis, seperti terikat dalam leher anjing atau langsung menempel ke najis. Meskipun tali tersebut tidak bergerak ketika orang yang shalat bergerak. 
2.      Tidak menjadi masalah dan sah shalatnya orang yang sejajar dengan najis, selama najis tidak bersentuhan langsung dengan badan, pakaian atau segala sesuatu yang ia bawa ketika shalat. 
3.      Haram hukumnya mengotori diri sendiri dengan najis jika tidak ada hajat. 
4.      Orang yang shalat membawa najis yang ia lupa atau tidak tahu, baik di pakaian atau badannya, maka wajib mengulangi shalat yang ia yakini membawa najis. 

3.      Menutup aurat

Aurat adalah segala sesuatu yang wajib ditutup dan haram untuk dilihat. Wajib bagi seorang yang shalat untuk menutup aurat dengan segala sesuatu yang dianggap sebagai penutup dan bisa menyembunyikan warna kulit, meskipun penutup aurat tersebut dapat memperlihatkan bentuk tubuh seperti pakaian yang ketat dan menempel kulit, maka hukum shalat dengan pakaian seperti itu tetap sah.
Adapun memakai sesuatu yang tidak dianggap sebagai memakai penutup, seperti telanjang dalam kegelapan atau tempat yang sempit, maka hukumnya tidak sah, karena bukan dianggap sebagai menutup aurat.

Tambahan 
1.      Seorang yang ingin mengerjakan shalat tetapi tidak mendapatkan sesuatu untuk menutup aurat, maka shalat dalam keadaan talanjang dan tidak wajib mengulangi shalatnya. 
2.      Seorang yang mendapatkan penutup aurat hanya sebagian saja maka wajib menutup dua kemaluannya terlebih dahulu, jika penutup aurat hanya cukup untuk salah satu kemaluan maka wajib menutup kemaluan depannya. 
3.      Seandainya aurat seeorang terbuka oleh angin maka wajib bersegera untuk menutupnya, jika tidak bersegera menutupnya maka shalatnya batal. 

4.      Menghadap kiblat

Allah berfirman dalam Alquran:

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَام

“Maka hadapkanlah wajahmu ke arah masjidil haram.”
Yang dimaksud ‘menghadap masjidil haram’ adalah menghadap ka’bah.

Wajib hukumnya menghadap kiblat ketika shalat. Seorang yang shalat dengan berdiri atau duduk maka wajib menghadap kiblat dengan dadanya, orang yang shalat dengan tidur miring maka mengadap kiblat dengan wajah dan dadanya dan orang yang shalat dengan tidur terlentang maka wajib menghadap kiblat dengan dua telapak kakinya dan wajahnya.

Ada beberapa cara untuk mengetahui arah kiblat, yaitu: 
1.      Mengetahui (yakin) dengan arah kiblat. Seperti dengan melihat bangunan ka’bah. 
2.      Berpegangan dengan ucapan dari orang yang tahu arah kiblat. 
3.      Berusaha sendiri mencari arah kiblat, seperti dengan kompas misalnya. 
4.      Berpegangan kepada orang yang ijtihad (berusaha mencari kiblat) jika tidak bisa untuk mencari arah kiblat.
Maka wajib untuk orang yang akan mengerjakan shalat mengetahui arah kiblat dengan salah satu cara tersebut. 

5.      Masuk waktu shalat

Shalat tidak sah dilakukan sebelum masuk waktu. Sehingga wajib mengetahui masuknya waktu shalat dengan yakin seperti dengan melihat matahari tenggelam dan mendengar adzan dari masjid yang bisa dipercaya, atau dengan prasangka seperti dengan melihat jam.
Sehingga seorang yang shalat tanpa berusaha untuk mencari tahu masuknya waktu terlebih dahulu, maka shalatnya tidak sah walaupun shalatnya tepat setelah masuk waktunya.

Permasalahan

Seorang yang shalat setelah berusaha mencari tahu masuknya waktu, akan tetapi setelah shalat dirinya baru tahu bahwa shalat yang dikerjakan diluar waktu. Bagaimana hukumnya?
Jawab: jika ternyata shalat yang dikerjakan ternyata sebelum masuk waktunya, maka shalat yang telah dikerjakan menjadi shalat qodho’ jika dirinya memiliki tanggungan qodho’ shalat, jika tidak memiliki tanggungan qodho’ shalat maka shalat yang telah dikerjakan menjadi shalat sunnah mutlak.
Tetapi jika shalat yang dikerjakan ternyata setelah keluar waktu shalat, maka menjadi qodho’ dari shalat tersebut. 

6.      Mengetahui dengan kefardhuan shalat

Artinya orang yang shalat harus mengetahui bahwa shalat yang dikerjakan adalah fardhu atau wajib. Sehingga seorang yang ragu atau bingung dengan shalat yang ia kerjakan, antara wajib atau tidak, maka shalatnya tidak sah. 

7.      Tidak meyakini salah satu dari fardhu-fardhu shalat sebagai sunnah

Seorang yang meyakini bahwa salah satu fardhu/rukun sholat diyakini sebagai suatu yang sunnah, seperti meyakini bahwamembaca surat Alfatihah hukumnya sunnah atau tidak wajib, maka shalat yang dikerjakannya tidak sah. Begitu juga ketika meyakini segala fardhu dalam shalat sebagai sunnah, maka hukum shalatnya tidak sah.
Adapun orang yang menyakini bahwa semua pekerjaan dalam shalat hukumnya wajib atau meyakini dalam shalat ada pekerjaan yang wajib dan ada yang sunnah tanpa menentukan mana yang sunnah dan mana yang wajib, maka shalat orang yang demikian hukumnya tetap sah. 

8.      Meninggalkan hal-hal yang membatalkan shalat

Wajib bagi seorang yang shalat untuk meninggalkan hal-hal yang membatalkan shalat. Ketika mengerjakan salah satu hal yang membatalkan shalat, maka shalat yang dilakukan hukumnya batal. Adapun hal-hal yang mebatalkan shalat akan dibahas dalam pembahasan berikutnya.

Syarat wajib shalat

Setelah mengetahui syarat sah shalat, maka berikutnya adalah syarat wajib shalat. Artinya seorang yang masuk dalam syarat-syarat ini, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat. Sehingga jika meninggalkan shalat atnpa adanya udzur-udzur shalat, maka hukumnya dosa.

Adapun syarat wajib shalat ada 6, yaitu: 

1.      Islam

Orang yang kafir tidak diwajibkan untuk shalat, tetapi diakhirat tetap terkena siksaan karena meninggalkan shalat selain siksaan karena kekafirannya. Hal ini sebagaimana firman Allah:

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ . قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْن

“Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) saqar? Mereka menjawab “Dahulu kami tidak temasuk orang-orang yang melaksanakan shalat.”
Orang kafir yang masuk islam tidak wajib mengqodho’ shalat yang tidak dikerjakan sebelum masuk islam. Allah berfirman:

قُلْ لِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا إِنْ يَنْتَهُوْا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ

“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu (Abu Sufyan dan kawan-kawannya) “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu.”
Adapun orang murtad, maka tetap wajib mengerjakan shalat tetapi tidak sah, sehingga ketika kembali memeluk islam, maka wajib mengqodho’ segala kewajiban yang telah ditinggalkan selama murtad. 

2.      Baligh

Orang yang belum baligh, maka tidak diwajibkan untuk shalat. Tetapi orang tua wajib memerintahkan anaknya yang berumur 7 tahun untuk shalat, dan wajib memukul anaknya ketika telah menginjak usia 10 tahun jika tidak mau mengerjakan shalat.
Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَ هُمْ أَبْنَاءُ سَبْعٍ وَ اضْرِبُوْهُمْ عَلَى تَرْكِهَا وَ هُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَ فَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

“Perintahlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat sedang mereka berumur 7 tahun dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat sedang mereka berumur 10 tahun dan pisahkan antara mereka dalam tempat tidur.” 

3.      Berakal

Orang gila, pingsan dan mabuk yang tidak disengaja maka tidak terkena kewajiban shalat. 

4.      Bersih dari haidh dan nifas

Orang yang haidh atau nifas, tidak terkena kewajiban untuk shalat. Jika mereka tetap memaksa untuk shalat maka shalatnya tidak sah dan berdosa. Selain tidak diwajibkan shalat ketika shalat, juga tidak diwajibkan mengqodho’ shalat. Jika mengqodho’ shalat yang ditinggalkan ketika haidh atau nifas, maka sebagian ulama’ mengatakan haram hukumnya dan tidak sah.
Tetapi sebagian ulama’ lain berpendapat, jika perempuan yang haidh atau nifas mengqodho shalat yang ditinggalkan ketika haidh atau nifas, maka shalatnya tetap sah akan tetapi makruh hukumnya. 

5.      Sampainya dakwah islam

Suatu daerah yang berpenduduk muslim, hanya saja dakwah islam tidak sampai kepada mereka, sehingga mereka tidak mengetahui hukum shalat dan kewajiban yang lainnya, maka mereka tidak terkena kewajiban shalat. Ketika dakwah islam sampai kepada mereka maka mereka tidak wajib mengqodho’ shalatnya. 

6.      Selamatnya panca indera

Seorang yang terlahir dalam keadaan buta dan tuli, meski bisa bicara, maka tidak terkena kewajiban shalat. Jika panca indera menjadi normal, maka tidak diwajibkan untuk mengqodho’ shalat.

و الله أعلم

Senin, 25 Mei 2015

Safinah - bag 24: Udzur-udzur Shalat



(فَصْلٌ ) أَعْذَارُ الصَّلَاةِ اِثْنَانِ : النَّوْمُ وَ النِّسْيَانُ .
Udzur-udzur shalat ada 2, yaitu: 
1.      Tidur. 
2.      Lupa.

Pembahasan

Shalat adalah ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam secara umum. Tetapi adakalanya shalat hanya berupa ucapan tanpa ada perbuatan, seperti shalat jenazah. Karena yang wajib dalam shalat jenazah adalah ucapan takbir.
Ada juga shalat hanya dengan perbuatan tanpa ucapan, seperti shalatnya orang bisu. Adapula shalat tanpa ucapan dan perbuatan, seperti shalatnya orang bisu yang diikat.

Shalat adalah kewajiban yang wajib dikerjakan oleh orang muslim yang mukallaf (baligh dan berakal). Bahkan orang yang mengingkari kewajiban shalat maka hukumnya murtadz.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَ أَقِيْمُوا الصَّلَاةَ (البقرة: 43)

“Dan laksanakanlah shalat.”
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوْتًا (النساء: 103)

“Sungguh, shalat adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَرَضَ اللهُ عَلَى أُمَّتِي لَيْلَةَ الْإِسْرَاءِ خَمْسِيْنَ صَلَاةً فَلَمْ أَزَلْ أُرَاجِعُهُ وَ أَسْاَلُهُ التَّخْفِيْفَ حَتَّى جَعَلَهَا خَمْسًا فِي كُلِّ يَوْمٍ وَ لَيْلَةٍ

“Allah mewajibkan kepada umatku di malam isra’ mi’raj 50 shalat, maka aku terus-menerus kembali kepada-Nya dan aku meminta keringanan sehingga Allah menjadikannya 5 (shalat) di dalam sehari semalam.”
Dan sabda beliau ketika mengutus sahabat Mu’ad ke Yaman:

أَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللهَ تَعَالَى قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَ لَيْلَةٍ

“Kasih tahu mereka bahwa sesungguhnya Allah ta’ala mewajibkan bagi mereka 5 shalat dalam sehari semalam.”

Seorang yang muslim yang mukallaf tidak diperkenankan meninggalkan shalat dengan alasan apapun. Wajib mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Tetapi ada beberapa perkara atau udzur-udzur yang memperbolehkan seseorang untuk mengerjakan shalat di luar waktu yang telah dotentukan. Sehingga ketika seorang terdapat salah satu udzur tersebut, ketika mengerjakan shalat di luar waktunya tidak terkena dosa.

Adapun udzur-udzur shalat ada 4, dua diantaranya disebutkan oleh pengarang kitab ini. Adapun udzur-udzur tersebut yaitu: 

1.      Tidur

Tidur termasuk udzur shalat. Sehingga jika seorang tertidur hingga keluar waktu shalat maka dia tidak terkena dosa karena sebab tidurnya. Tetapi tidak semua tidur dianggap sebagai udzur shalat. Adapun perincian tidur yang bisa dianggap sebagai udzur shalat adalah sebagai berikut: 
1.      Tidur dilakukan sebelum masuk waktu shalat. Baik dirinya tahu akan bangun sebelum keluar waktu shalat atau tahu bahwa dirinya.
2.      Tidur dilakukan setelah masuk waktu shalat, tetapi meyakini akan terbangun sebelum keluarnya waktu shalat dan ternyata terbangun setelah keluarnya waktu shalat.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيْطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيْطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلَاةَ حَتَّى يَدْخُلَ وَقْتُ الْأُخْرَى

“Tidak ada dalam tidur keteledoran, keteledoran hanya bagi orang yang tidak mengerjakan shalat sehingga masuk waktu shalat yang lainnya.”

Adapun jika tidur dilakukan setelah masuk waktu shalat dan meyakini akan terbangun setelah keluarnya waktu shalat, maka bukan termasuk udzur shalat. Pelakunya terkena dua dosa; dosa karena tidur dan dosa karena mengerjakan shalat di luar waktu yang telah ditentukan. Wajib banginya untuk bersegera mengqadha shalat.
Akan tetapi jika terbangun tidak sesuai keyakinannya (bangun sebelum keluar waktu shalat) dan mengerjakan shalat tepat pada waktunya, maka berdosa karena sebab tidurnya saja.

Tambahan

a.       Wajib membangunkan seseorang yang tidur setelah masuknya waktu shalat dan sunnah membangunkan seorang yang tidur sebelum masuk waktu shalat, sekiranya tidak dikhawatirkan aka nada bahaya pada dirinya sendiri jika membangunkan. Supaya orang tersebut bisa mengerjakan shalat tepat pada waktunya. 
b.      Disunnahkan membaca Ayat kursi, Surat Al-Ikhlas, Surat Al-falaq, Surat An-Naas dan akhir Surat Al-Baqarah sebelum tidur, dan membaca akhir Surat Ali-imran mulai dari 

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ

Dalam hadist shahih diriwayatkan bahwa Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Surat Al-Ikhlas, Mu’awwidzatain(Surat Al-Falaq dan Surat An-Naas) dan meniupkannya pada kedua tangan beliau kemudian mengusapkannya ke seluruh badan ketika hendak tidur. 

2.      Lupa

Termasuk udzur shalat adalah lupa jika bukan disebabkan karena hal-hal yang dilarang. Seperti ketika telah tiba waktu shalat dan seseorang berniat akan mengerjakan shalat, kemudian dirinya menyibukan diri dengan mempelajari kitab atau mengerjakan suatu pekerjaan hingga akhirnya keluar waktu sedang dirinya lupa, maka hal ini termasuk udzur shalat dan tidak berdosa.
Adapun lupa karena disebabkan mengerjakan hal yang haram, seperti judi atau hal yang makruh, seperti bermain catur, maka lupa yang demikian bukanlah udzur shalat sehingga dirinya berdosa dan wajib untuk bersegera mengerjakan shalat. 

3.      Menjamak antara dua shalat

Jamak takdim dan jamak takhir juga termasuk udzur shalat jika syarat-syarat jamak tersebut terpenuhi. Adapun syarat jamak takdim dan syarat jamak takhir akan dibahas –insyaallah- dalam pembahasan berikutnya. 

4.      Dipaksa

Seorang yang dipaksa dengan ancaman untuk mengerjakan shalat diluar waktunya maka hal yang demikian termasuk udzur shalat. Akan tetapi paksaan atau ancaman yang termasuk udzur shalat harus memenuhi beberapa syarat, yaitu: 
1.      Orang yang memaksa mampu untuk melaksanakan ancamannya.
Jika orang yang memaksa tidak mampu melaksanakan ancamannya, seperti orang yang memaksa adalah anak kecil atau orang yang lumpuh memaksa orang dewasa yang sehat, maka tidak termasuk udzur shalat. Sehingga jika mengerjakan shalat setelah keluar waktunya maka hukumnya dosa. 
2.      Orang yang dipaksa tidak mampu untuk menghindar dari ancaman (seperti dengan lari atau meminta pertolongan).
Jika masih bisa menghindar atau menyelamatkan diri dari ancaman dengan berlari atau meminta pertolongan orang-orang disekitarnya, maka bukan lagi sebagai udzur shalat. 
3.      Orang yang dipaksa menyangka, jika tidak mengerjakan perintah orang yang memaksa, maka pemaksa akan melakukan ancamannya.
Jika orang yang dipaksa menyangka bahwa orang yang memaksa hanya bermain-main dengan ancamannya, maka bukan sebagai udzur shalat. 
4.      Tidak ada unsur kesengajaan untuk mengerjakan shalat di luar waktu.
Ketika ada unsure kesengajaan dari orang yang dipaksa untuk mengerjakan shalat diluar waktunya, seperti dalam hatinya muncul keinginan untuk mengerjakan shalat di luar waktu, maka tidak lagi disebut udzur shalat.

و الله اعلم