(فَصْلٌ) شُرُوْطُ الصَّلَاةِ
ثَمَانِيَةٌ : طَهَارَةُ الْحَدَثَيْنِ وَ الطَّهَارَةُ عَنِ النَّجَاسَةِ فِي الثَّوْبِ
وَ الْبَدَنِ وَ الْمَكَانِ وَ سَتْرُ الْعَوْرَةِ
وَ اسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ وَ دُخُوْلُ الْوَقْتِ وَ الْعِلْمُ بِفَرِيْضَتِةِ وَ
أَنْ لَايَعْتَقِدَ فَرْضًا مِنْ فُرُوْضِهَا سُنَّةً وَ اجْتِنَابُ الْمُبْطِلَاتِ
.
Syarat-syarat (sah) shalat ada 8, yaitu:
1. Suci dari dua hadast.
2. Suci dari najis pada pakaian, badan dan tempat shalat.
3. Menutup aurat.
4. Menghadap kiblat.
5. Masuk waktu shalat.
6. Mengetahui dengan kefardhuan shalat.
7. Tidak meyakini salah satu fardhu dari fardhu-fardhu shalat sebagai sunnah.
8. Meninggalkan hal-hal yang membatalkan shalat.
1. Suci dari dua hadast.
2. Suci dari najis pada pakaian, badan dan tempat shalat.
3. Menutup aurat.
4. Menghadap kiblat.
5. Masuk waktu shalat.
6. Mengetahui dengan kefardhuan shalat.
7. Tidak meyakini salah satu fardhu dari fardhu-fardhu shalat sebagai sunnah.
8. Meninggalkan hal-hal yang membatalkan shalat.
Pembahasan
Shalat adalah ibadah yang sangat penting, bahkan shalat menjadi tiang agama sebagaimana sabda Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam:
الصَّلَاةُ عِمَادُ الدِّيْنِ فَمَنْ أَقَامَهَا فَقَدْ أَقَامَ الدِّيْنَ
وَ مَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ هَدَمَ الدِّيْنَ
“Shalat adalah
tiang agama. Barangsiapa mengerjakan shalat maka sungguh-sungguh telah
menegakkan agama, barang siapa meninggalkan shalat maka sungguh-sungguh telah
menghancurkan agama.”
Shalat sendiri memiliki beberapa syarat sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Syarat shalat terbagi menjadi dua; syarat sah shalat dan syarat wajib shalat. Syarat sah shalat artinya adalah jika seorang yang mengerjakan shalat memenuhi syarat-syarat tersebut maka shalat yang telah dikerjakan sah hukumnya.
Adapun syarat sah shalat ada 8, yaitu:
1. Suci dari dua hadast
1. Suci dari dua hadast
Hadast terbagi menjadi dua, yaitu hadast besar dan kecil. Kedua hadast tersebut memiliki pengertian dan hukum masing-masing dan akan dibahas –insyaallah- dalam pembahasan berikutnya.
Tidak sah seorang yang shalat sedang dirinya berhadast. Jika seorang yang berhadast jika sengaja melaksanakan shalat dan dirinya mengetahui bahwa mengerjakan shalat ketika berhadast maka hukumnya haram tidak sah dan dirinya berdosa.
Adapun orang yang mengerjakan shalat tetapi lupa bahwa dirinya berhadast, maka shalatnya tetap tidak sah dan mendapat pahala karena niatnya untuk mengerjakan shalat. Dan wajib mengulangi shalatnya.
Jika ditengah mengerjakan shalat kemudian berhadast, seperti
kentut dll maka shalatnya batal. dalam hadist Nabi Muhammad sallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا فَسَا أَحَدُكُمْ فِيْ صَلَاتِهِ فَلْيَنْصَرِفْ وَ لْيَتَوَضَّأْ وَ
لْيُعِدْ صَلَاتَهُ
“Jika salah satu
kalian keluar angin (kentut) di dalam shalatnya, maka hendaknya dia berpaling
dan wudhu kemudian mengulangi shalatnya.”
Orang yang tidak bisa menghilangkan hadast pada dirinya, karena tidak menemukan air untuk berwudhu atau mandi atau tidak menemukan debu untuk bertayammum, maka wajib shalat meski dalam keadaan berhadast. Hal ini wajib dilakukan untuk menghormati waktu shalat dan wajib untuk mengqodho’ shalat jika telah menemukan air atau debu.
2. Suci dari najis pada pakaian, badan dan tempat shalat
Yang dimaksud pakaian dalam shalat adalah segala sesuatu yang dipakai, dibawa –meskipun tidak bergerak dengan gerakan dirinya- dan yang menempel pada orang yang shalat. Adapun yang dimaksud dengan badan adalah bagian yang tampak dari orang yang shalat, mencakup bagian dalam hidung, mulut dan mata. Dan yang dimaksud dengan tempat dalam shalat adalah tempat yang bersentuhan langsung dengan pakaian dan badannya.
Dalam shalat pakaian, badan dan tempat shalat disyaratkan harus suci. Sehingga orang yang membawa najis (yang tidak dimaafkan) dalam pakaian, badan atau tempat shalat ketika mengerjakan shalat, maka hukumnya tidak sah.
Tambahan
Najis terbagi menjadi 4, yaitu:
a. Najis yang tidak dimaafkan di dalam air dan di pakaian.
b. Najis yang dimaafkan di dalam air dan di pakaian, yaitu najis yang tidak terlihat oleh penglihatan mata manusia pada umumnya. Sehingga jika najis tersebut masuk ke dalam air maka air tidak menjadi mutanajjis dan jika terbawa oleh pakaian ketika shalat maka shalat tetap sah.
c. Najis yang dimaafkan di pakaian tetapi tidak dimaafkan di dalam air, yaitu darah yang sedikit. Sehingga ketika dalam pakaian shalat terdapat sedikit darah hukumnya tetap sah shalatnya.
d. Najis yang dimaafkan di dalam air tetapi tidak dimaafkan di pakaian, yaitu bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir ketika dirobek. Sehingga ketika bangkai tersebut masuk ke dalam air maka tidak membuat air menjadi mutanajjis/ tetap suci. Tetapi jika terbawa ketika shalat maka shalatnya tidak sah.
Ukuran sedikit atau banyaknya darah adalah
menurut kebiasaan suatu tempat, jika darah menetes dan sulit untuk menjaga diri
darinya (karena sangat sedikit) maka darah tersebut dianggap sedikit, adapun
yang lebih dari itu maka hukumnya banyak. Sebagian ulama berpendapat bahwa
darah yang banyak adalah darah yang ukurannya bisa terlihat dengan mata tanpa
berpikir terlebih dahulu, adapun yang kurang dari ukuran tersebut maka hukumnya
sedikit.
Permasalahan
1. Tidak sah shalat seseorang yang tangannya memegang tali yang ujungnya bersambung dengan najis, seperti terikat dalam leher anjing atau langsung menempel ke najis. Meskipun tali tersebut tidak bergerak ketika orang yang shalat bergerak.
2. Tidak menjadi masalah dan sah shalatnya orang yang sejajar dengan najis, selama najis tidak bersentuhan langsung dengan badan, pakaian atau segala sesuatu yang ia bawa ketika shalat.
3. Haram hukumnya mengotori diri sendiri dengan najis jika tidak ada hajat.
4. Orang yang shalat membawa najis yang ia lupa atau tidak tahu, baik di pakaian atau badannya, maka wajib mengulangi shalat yang ia yakini membawa najis.
3. Menutup aurat
Aurat adalah segala sesuatu yang wajib ditutup dan haram untuk dilihat. Wajib bagi seorang yang shalat untuk menutup aurat dengan segala sesuatu yang dianggap sebagai penutup dan bisa menyembunyikan warna kulit, meskipun penutup aurat tersebut dapat memperlihatkan bentuk tubuh seperti pakaian yang ketat dan menempel kulit, maka hukum shalat dengan pakaian seperti itu tetap sah.
Adapun memakai sesuatu yang tidak dianggap sebagai memakai
penutup, seperti telanjang dalam kegelapan atau tempat yang sempit, maka
hukumnya tidak sah, karena bukan dianggap sebagai menutup aurat.
Tambahan
1. Seorang yang ingin mengerjakan shalat tetapi tidak mendapatkan sesuatu untuk menutup aurat, maka shalat dalam keadaan talanjang dan tidak wajib mengulangi shalatnya.
2. Seorang yang mendapatkan penutup aurat hanya sebagian saja maka wajib menutup dua kemaluannya terlebih dahulu, jika penutup aurat hanya cukup untuk salah satu kemaluan maka wajib menutup kemaluan depannya.
3. Seandainya aurat seeorang terbuka oleh angin maka wajib bersegera untuk menutupnya, jika tidak bersegera menutupnya maka shalatnya batal.
4. Menghadap kiblat
Allah berfirman dalam Alquran:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَام
“Maka hadapkanlah
wajahmu ke arah masjidil haram.”
Yang dimaksud ‘menghadap masjidil haram’ adalah menghadap
ka’bah.
Wajib hukumnya menghadap kiblat ketika shalat. Seorang yang shalat dengan berdiri atau duduk maka wajib menghadap kiblat dengan dadanya, orang yang shalat dengan tidur miring maka mengadap kiblat dengan wajah dan dadanya dan orang yang shalat dengan tidur terlentang maka wajib menghadap kiblat dengan dua telapak kakinya dan wajahnya.
Ada beberapa cara untuk mengetahui arah kiblat, yaitu:
1. Mengetahui (yakin) dengan arah kiblat. Seperti dengan melihat bangunan ka’bah.
2. Berpegangan dengan ucapan dari orang yang tahu arah kiblat.
3. Berusaha sendiri mencari arah kiblat, seperti dengan kompas misalnya.
4. Berpegangan kepada orang yang ijtihad (berusaha mencari kiblat) jika tidak bisa untuk mencari arah kiblat.
Maka wajib untuk orang yang akan mengerjakan shalat
mengetahui arah kiblat dengan salah satu cara tersebut.
5. Masuk waktu shalat
5. Masuk waktu shalat
Shalat tidak sah dilakukan sebelum masuk waktu. Sehingga wajib mengetahui masuknya waktu shalat dengan yakin seperti dengan melihat matahari tenggelam dan mendengar adzan dari masjid yang bisa dipercaya, atau dengan prasangka seperti dengan melihat jam.
Sehingga seorang yang shalat tanpa berusaha untuk mencari
tahu masuknya waktu terlebih dahulu, maka shalatnya tidak sah walaupun
shalatnya tepat setelah masuk waktunya.
Permasalahan
Seorang yang shalat setelah berusaha mencari tahu masuknya waktu, akan tetapi setelah shalat dirinya baru tahu bahwa shalat yang dikerjakan diluar waktu. Bagaimana hukumnya?
Jawab: jika ternyata shalat yang dikerjakan ternyata
sebelum masuk waktunya, maka shalat yang telah dikerjakan menjadi shalat qodho’
jika dirinya memiliki tanggungan qodho’ shalat, jika tidak memiliki tanggungan
qodho’ shalat maka shalat yang telah dikerjakan menjadi shalat sunnah mutlak.
Tetapi jika shalat yang dikerjakan ternyata setelah keluar
waktu shalat, maka menjadi qodho’ dari shalat tersebut.
6. Mengetahui dengan kefardhuan shalat
6. Mengetahui dengan kefardhuan shalat
Artinya orang yang shalat harus mengetahui bahwa shalat yang dikerjakan adalah fardhu atau wajib. Sehingga seorang yang ragu atau bingung dengan shalat yang ia kerjakan, antara wajib atau tidak, maka shalatnya tidak sah.
7. Tidak meyakini salah satu dari fardhu-fardhu shalat sebagai sunnah
Seorang yang meyakini bahwa salah satu fardhu/rukun sholat diyakini sebagai suatu yang sunnah, seperti meyakini bahwamembaca surat Alfatihah hukumnya sunnah atau tidak wajib, maka shalat yang dikerjakannya tidak sah. Begitu juga ketika meyakini segala fardhu dalam shalat sebagai sunnah, maka hukum shalatnya tidak sah.
Adapun orang yang menyakini bahwa semua pekerjaan dalam
shalat hukumnya wajib atau meyakini dalam shalat ada pekerjaan yang wajib dan
ada yang sunnah tanpa menentukan mana yang sunnah dan mana yang wajib, maka
shalat orang yang demikian hukumnya tetap sah.
8. Meninggalkan hal-hal yang membatalkan shalat
8. Meninggalkan hal-hal yang membatalkan shalat
Wajib bagi seorang yang shalat untuk meninggalkan hal-hal yang membatalkan shalat. Ketika mengerjakan salah satu hal yang membatalkan shalat, maka shalat yang dilakukan hukumnya batal. Adapun hal-hal yang mebatalkan shalat akan dibahas dalam pembahasan berikutnya.
Syarat wajib shalat
Setelah mengetahui syarat sah shalat, maka berikutnya adalah syarat wajib shalat. Artinya seorang yang masuk dalam syarat-syarat ini, maka wajib baginya untuk mengerjakan shalat. Sehingga jika meninggalkan shalat atnpa adanya udzur-udzur shalat, maka hukumnya dosa.
Adapun syarat wajib shalat ada 6, yaitu:
1. Islam
Orang yang kafir tidak diwajibkan untuk shalat, tetapi diakhirat tetap terkena siksaan karena meninggalkan shalat selain siksaan karena kekafirannya. Hal ini sebagaimana firman Allah:
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ . قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ
الْمُصَلِّيْن
“Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) saqar? Mereka
menjawab “Dahulu kami tidak temasuk orang-orang yang melaksanakan shalat.”
Orang kafir yang masuk islam tidak wajib mengqodho’ shalat
yang tidak dikerjakan sebelum masuk islam. Allah berfirman:
قُلْ لِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا إِنْ يَنْتَهُوْا يُغْفَرْ لَهُمْ
مَا قَدْ سَلَفَ
“Katakanlah kepada
orang-orang yang kafir itu (Abu Sufyan dan kawan-kawannya) “Jika mereka
berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka
yang telah lalu.”
Adapun orang murtad, maka tetap wajib mengerjakan shalat
tetapi tidak sah, sehingga ketika kembali memeluk islam, maka wajib mengqodho’
segala kewajiban yang telah ditinggalkan selama murtad.
2. Baligh
2. Baligh
Orang yang belum baligh, maka tidak diwajibkan untuk shalat. Tetapi orang tua wajib memerintahkan anaknya yang berumur 7 tahun untuk shalat, dan wajib memukul anaknya ketika telah menginjak usia 10 tahun jika tidak mau mengerjakan shalat.
Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَ هُمْ أَبْنَاءُ سَبْعٍ
وَ اضْرِبُوْهُمْ عَلَى تَرْكِهَا وَ هُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَ فَرِّقُوْا
بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat
sedang mereka berumur 7 tahun dan pukullah mereka karena meninggalkan shalat
sedang mereka berumur 10 tahun dan pisahkan antara mereka dalam tempat tidur.”
3. Berakal
3. Berakal
Orang gila, pingsan dan mabuk yang tidak disengaja maka tidak terkena kewajiban shalat.
4. Bersih dari haidh dan nifas
Orang yang haidh atau nifas, tidak terkena kewajiban untuk shalat. Jika mereka tetap memaksa untuk shalat maka shalatnya tidak sah dan berdosa. Selain tidak diwajibkan shalat ketika shalat, juga tidak diwajibkan mengqodho’ shalat. Jika mengqodho’ shalat yang ditinggalkan ketika haidh atau nifas, maka sebagian ulama’ mengatakan haram hukumnya dan tidak sah.
Tetapi sebagian ulama’ lain berpendapat, jika perempuan yang
haidh atau nifas mengqodho shalat yang ditinggalkan ketika haidh atau nifas,
maka shalatnya tetap sah akan tetapi makruh hukumnya.
5. Sampainya dakwah islam
5. Sampainya dakwah islam
Suatu daerah yang berpenduduk muslim, hanya saja dakwah islam tidak sampai kepada mereka, sehingga mereka tidak mengetahui hukum shalat dan kewajiban yang lainnya, maka mereka tidak terkena kewajiban shalat. Ketika dakwah islam sampai kepada mereka maka mereka tidak wajib mengqodho’ shalatnya.
6. Selamatnya panca indera
Seorang yang terlahir dalam keadaan buta dan tuli, meski bisa bicara, maka tidak terkena kewajiban shalat. Jika panca indera menjadi normal, maka tidak diwajibkan untuk mengqodho’ shalat.
و الله أعلم
ijin share dan print. jazakallah..
BalasHapusDalam kitab kasyifatus saja ada keterangan tentang BEBERAPA MACAMNYA KENTUT....tu berada di bgian mana ya? Saya lupa...bisakah di post ta'birnya
BalasHapusIzin save
BalasHapusizin share dan print terima kasih
BalasHapusAlumni mna y?
BalasHapus